Minggu, 24 Februari 2013

Sebuah Angan Semu


Kamu. Aku masih menyimpan namamu di hatiku. Aku masih mengharapkan kehadiranmu datang kembali dalam hidupku. Walau kenyataannya berkata lain. 
Aku yang masih menunggumu disini bersama bayang-bayangmu. Aku tahu, diriku tak lagi berada di hatimu. Aku tahu, dirinyalah yang saat ini telah mengisi hatimu. Aku tahu, sekarang kamu tlah bahagia bersamanya. Menciptakan sebuah tawa bersama. Aku tahu, sekarang kamu telah nyaman berada di dekatnya, begitupun dia. Kamu selalu menunjukan sesuatu di depanku yang membuat hatiku teriris. Memperlihatkan kepadaku bahwa kamu tlah berhasil menghapus namaku dari hidupmu, dan telah mendapatkan sebuah kebahagian baru yang bukan berasal dari diriku.
Namun apa dayaku, aku hanya bisa tersenyum dikalaku sedih melihat dirimu bersamanya. Aku tak berhak untuk menunjukan kecemburuanku di depanmu, memperlihatkan betapa sakitnya hatiku saat aku melihatmu tertawa bersamanya, mengalun sebuah candaan dari mulutmu untuk dirinya, begitupun sebaliknya.
Aku hanya dapat terdiam dalam hatiku, sesungguhnya aku memendam perasaan ini masih untukmu. Aku tidak lagi dapat bercerita tentang keluh kesahku kepadamu, aku tak bisa mengucap kata indah itu lagi kepadamu, aku tak dapat membuatmu hanyut dalam canda “kita”, aku tak dapat membuatmu nyaman berada di dekatku. Karena, sekarang hal itu telah dapat dilakukan oleh seseorang disana yang telah dapat menggantikan ruang hati untukku menjadi untuknya. Mungkin sekarang bukanlah aku tetapi dia! Aku tak dapat lagi untuk memegang tanganmu, menangis dalam pelukmu. Siapa aku di matamu?!
Dia begitu spesial dalam hidupmu saat ini.
Jujur, aku cemburu. Cemburu bila melihatmu dengannya. Seketikaku tersadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa lagi untukmu,. Pantaskah aku menyimpan perasaan ini? Pantaskah aku cemburu melihat mereka? Pantaskah aku masih mengharapkannya? Mungkin harapan ini hanyalah sebuah debu yang dengan mudah tertiup angin. Dapatkah kamu melihat sedikit akan perasaanku? Aku menangis dalam sebuah kecemburuan, dan sebuah penyesalan. Entah saat ini siapa yang tak tahu diri. Aku? Ataukah dia? Dia yang telah menunjukan padaku bahwa aku tak lagi ada dalam hatinya, aku! Aku yang masih tak bisa menghapus bayang-bayangnya dalam hidupku. Begitu banyak kenangan yang telah aku tuliskan bersamanya. Namun, mengapa dia dengan mudah “can to move” sedangkan aku disini “still love him”. Aku tak menyalahkan dia, itu memang hak dia untuk berdekatan dengan siapa saja. Tetapi... memang kenyataan tak sejalan dengan ucapan. Di depan teman-teman, aku selalu berkata “aku sudah melupakannya” tapi diam-diam aku pun masih memperhatikannya. Memperhatikannya secara diam-diam inilah yang membuat perasaanku menjadi sakit, disaat aku dapat melihat dia bersamanya dalam diamku. Apakah dia dapat mengerti akan perasaanku? Mungkin untuk mengerti TIDAK! Karena untuk mengetahui apa yang aku rasakan saja dia tidak mengetahui itu. Di depannya aku selalu bersikap tak acuh. Tak mempedulikan akan kehidupannya. Menunjukan bahwa aku pun sudah dapat melupakannya. Tapi, itu kulakukan karena aku tak mau mengusik kebahagiaannya saat ini. Mungkin terlalu munafik jika aku berkata “aku bahagia melihat dia bahagia bersamanya” karena aku selalu saja tak rela akan itu. Aku mencoba untuk merelakannya, namun....... TETAP TAK BISA! Dalam do’aku selalu memohon kepada-Nya untuk menghilangkan perasaan ini kepadanya. Aku ingin merasakan selayaknya apa yang ia rasakan kepadaku.
Semakin aku berusaha untuk menghilangkan rasa ini semakin aku merasa sakit. Aku tak bisa. Itu tak semudah yang ia pikirkan. Mungkin ia memang mudah menghilangkan perasaannya kepadaku karena mungkin memang dia tidak menggunakan perasaannya kepadaku saat itu. Sedangkan aku? Aku telah terlanjur hanyut dalam sebuah cinta. Cinta yang ia berikan. Memang dia beribu kali menyakitiku, tetapi entah mengapa semakin ia menyakitiku perasaanku semakin kuat terhadapnya. Setiap hari menahan perih itu memanglah sakit, apalagi jika perih itu berada dalam hati kita. Memendam perasaan kepada seseorang tanpa orang yang kita maksud mengetahuinya itu memang menyakitkan. Mungkin inilah memang resiko yang harus aku ambil dikala aku memendam perasaan ini, aku juga harus bisa memendam segala sakit hatiku. Menjerit perasaan ini kala aku melihatnya bersamanya kembali. Aku hanya dapat tersenyum mengetahui hal tersebut, menunjukan bahwa aku sudah tak peduli. Namun kenyataan lagi lagi tak sejalan dengan apa yang diucapkan.
Mencoba melupakannya dengan cara mencoba berpindah ke lain hati adalah cara yang aku lakukan dan itu pun gagal. Aku belum bisa menemukan sesosok dirinya pada diri oranglain.
Harus berkata jujur seperti apalagi agar dia bisa mengerti dan tergerak hatinya melihatku? Namun, aku bukanlah orang yang mau dikasihani hanya demi untuk membahagiakan aku jika itu tidak tulus dari hatinya.
Aku kembali merasakan sakit itu dikala aku mengingat, Memang dia lebih baik dariku. Dia lebih dari segala hal dibandingku. Pantas saja dia dengan mudahnya menggantikan tempatku untuknya dihatinya. Aku semakin merasa minder dikala aku mengingat itu. Aku semakin merasa tak pantas untuknya. Beruntunglah dia dapat mendapatkan seseorang yang aku sayangi. Harus sampai kapan aku menyimpan perasaan ini? Mungkin hanyalah waktu yang dapat mengubahnya. Ya Allah jika memang dia bukanlah yang terbaik untukku maka jauhkanlah aku dari dirinya.