Kamu. Aku masih
menyimpan namamu di hatiku. Aku masih mengharapkan kehadiranmu datang kembali
dalam hidupku. Walau kenyataannya berkata lain.
Aku yang masih
menunggumu disini bersama bayang-bayangmu. Aku tahu, diriku tak lagi berada di
hatimu. Aku tahu, dirinyalah yang saat ini telah mengisi hatimu. Aku tahu,
sekarang kamu tlah bahagia bersamanya. Menciptakan sebuah tawa bersama. Aku
tahu, sekarang kamu telah nyaman berada di dekatnya, begitupun dia. Kamu selalu
menunjukan sesuatu di depanku yang membuat hatiku teriris. Memperlihatkan
kepadaku bahwa kamu tlah berhasil menghapus namaku dari hidupmu, dan telah mendapatkan
sebuah kebahagian baru yang bukan berasal dari diriku.
Namun apa dayaku, aku
hanya bisa tersenyum dikalaku sedih melihat dirimu bersamanya. Aku tak berhak
untuk menunjukan kecemburuanku di depanmu, memperlihatkan betapa sakitnya
hatiku saat aku melihatmu tertawa bersamanya, mengalun sebuah candaan dari mulutmu
untuk dirinya, begitupun sebaliknya.
Aku hanya dapat terdiam
dalam hatiku, sesungguhnya aku memendam perasaan ini masih untukmu. Aku tidak
lagi dapat bercerita tentang keluh kesahku kepadamu, aku tak bisa mengucap kata
indah itu lagi kepadamu, aku tak dapat membuatmu hanyut dalam canda “kita”, aku
tak dapat membuatmu nyaman berada di dekatku. Karena, sekarang hal itu telah
dapat dilakukan oleh seseorang disana yang telah dapat menggantikan ruang hati
untukku menjadi untuknya. Mungkin sekarang bukanlah aku tetapi dia! Aku tak
dapat lagi untuk memegang tanganmu, menangis dalam pelukmu. Siapa aku di
matamu?!
Dia begitu spesial dalam
hidupmu saat ini.
Jujur, aku cemburu.
Cemburu bila melihatmu dengannya. Seketikaku tersadar bahwa aku bukanlah
siapa-siapa lagi untukmu,. Pantaskah aku menyimpan perasaan ini? Pantaskah aku
cemburu melihat mereka? Pantaskah aku masih mengharapkannya? Mungkin harapan
ini hanyalah sebuah debu yang dengan mudah tertiup angin. Dapatkah kamu melihat
sedikit akan perasaanku? Aku menangis dalam sebuah kecemburuan, dan sebuah
penyesalan. Entah saat ini siapa yang tak tahu diri. Aku? Ataukah dia? Dia yang
telah menunjukan padaku bahwa aku tak lagi ada dalam hatinya, aku! Aku yang
masih tak bisa menghapus bayang-bayangnya dalam hidupku. Begitu banyak kenangan
yang telah aku tuliskan bersamanya. Namun, mengapa dia dengan mudah “can to
move” sedangkan aku disini “still love him”. Aku tak menyalahkan dia, itu
memang hak dia untuk berdekatan dengan siapa saja. Tetapi... memang kenyataan
tak sejalan dengan ucapan. Di depan teman-teman, aku selalu berkata “aku sudah
melupakannya” tapi diam-diam aku pun masih memperhatikannya. Memperhatikannya
secara diam-diam inilah yang membuat perasaanku menjadi sakit, disaat aku dapat
melihat dia bersamanya dalam diamku. Apakah dia dapat mengerti akan perasaanku?
Mungkin untuk mengerti TIDAK! Karena untuk mengetahui apa yang aku rasakan saja
dia tidak mengetahui itu. Di depannya aku selalu bersikap tak acuh. Tak mempedulikan
akan kehidupannya. Menunjukan bahwa aku pun sudah dapat melupakannya. Tapi, itu
kulakukan karena aku tak mau mengusik kebahagiaannya saat ini. Mungkin terlalu
munafik jika aku berkata “aku bahagia melihat dia bahagia bersamanya” karena
aku selalu saja tak rela akan itu. Aku mencoba untuk merelakannya, namun.......
TETAP TAK BISA! Dalam do’aku selalu memohon kepada-Nya untuk menghilangkan
perasaan ini kepadanya. Aku ingin merasakan selayaknya apa yang ia rasakan
kepadaku.
Semakin aku berusaha
untuk menghilangkan rasa ini semakin aku merasa sakit. Aku tak bisa. Itu tak
semudah yang ia pikirkan. Mungkin ia memang mudah menghilangkan perasaannya
kepadaku karena mungkin memang dia tidak menggunakan perasaannya kepadaku saat
itu. Sedangkan aku? Aku telah terlanjur hanyut dalam sebuah cinta. Cinta yang
ia berikan. Memang dia beribu kali menyakitiku, tetapi entah mengapa semakin ia
menyakitiku perasaanku semakin kuat terhadapnya. Setiap hari menahan perih itu
memanglah sakit, apalagi jika perih itu berada dalam hati kita. Memendam
perasaan kepada seseorang tanpa orang yang kita maksud mengetahuinya itu memang
menyakitkan. Mungkin inilah memang resiko yang harus aku ambil dikala aku
memendam perasaan ini, aku juga harus bisa memendam segala sakit hatiku. Menjerit
perasaan ini kala aku melihatnya bersamanya kembali. Aku hanya dapat tersenyum
mengetahui hal tersebut, menunjukan bahwa aku sudah tak peduli. Namun kenyataan
lagi lagi tak sejalan dengan apa yang diucapkan.
Mencoba melupakannya
dengan cara mencoba berpindah ke lain hati adalah cara yang aku lakukan dan itu
pun gagal. Aku belum bisa menemukan sesosok dirinya pada diri oranglain.
Harus berkata jujur
seperti apalagi agar dia bisa mengerti dan tergerak hatinya melihatku? Namun,
aku bukanlah orang yang mau dikasihani hanya demi untuk membahagiakan aku jika
itu tidak tulus dari hatinya.
Aku kembali merasakan
sakit itu dikala aku mengingat, Memang dia lebih baik dariku. Dia lebih dari
segala hal dibandingku. Pantas saja dia dengan mudahnya menggantikan tempatku
untuknya dihatinya. Aku semakin merasa minder dikala aku mengingat itu. Aku
semakin merasa tak pantas untuknya. Beruntunglah dia dapat mendapatkan
seseorang yang aku sayangi. Harus sampai kapan aku menyimpan perasaan ini?
Mungkin hanyalah waktu yang dapat mengubahnya. Ya Allah jika memang dia
bukanlah yang terbaik untukku maka jauhkanlah aku dari dirinya.